Sabtu, 04 September 2010

EKSISTENSI

EKSISTENSI

Apa hanya perasaanku saja? Rasanya, satu persatu teman-temanku menjauhiku. Tanpa aku pahami mengapa. Tapi jelas itulah yang selalu kurasakan. Awalnya semua begitu ceria dan menyenangkan. Banyak teman yang kumiliki dari yang cantik rupawan, berbadan kurus atau tambun, pandai hingga biasa saja. Namun pada akhirnya aku tetap akan memutuskan hubungan pertemananku dengan mereka, atau merekalah yang meninggalkanku. Sedari kecil baik di Sekolah Dasar, SMP, SMA, dan sekarang di bangku kuliah juga? Kenapa? Aku juga tak tahu.
Maka Bila mereka yang ‘tak eksis’, apakah itu berarti dia pecundang? Atau manusia gagal? Apa eksistensi bisa didapat bila kita memiiki banyak teman? Bila banyak orang yang tunduk pada kita, riuh orang mengenal kita? Maka itulah manusia yang’eksis’?. Dan apakah eksistensi mampu menjadi tolak ukur dari seberapa bermanfaatnya seseorang bagi orang lain?
pernah kubaca dari buku. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat.

Apakah yang kurasakan dari mereka. sama seperti apa yang akan aku rasakan dari TUHAN?
Atau jangan-jangan sama seperti dimata mereka. Eksistensiku dimata TUHAN juga ‘NOL’?
Terlalu bayak pertanyaan di kepalaku, yang mana aku sendiri takut untuk tahu jawabannya


Aku trauma. Dulu sekali. Orang yang bukan ibuku meski masih satu pertalian keuarga. Namun aku anggap sebagai ibuku sendiri. Melontarkan pernyataan yang sangat jujur dan sangat menyakitkan.
Dia bilang aku tak lebih dari seorang anak yang tidak diinginkan, yang bisanya Cuma menyusahkan saja. Begitu dia bilang berulang kali, setiap hari. Mungkin itu sepele namun impactnya besar. Aku selalu minder dan paranoid, merasa semua orang mengatakan hal yang serupa. Di belakangku. Sekarang aku tinggal sendiri, kos di kota Jakarta.

***

“Sumbangannya mbak? Ini untuk panti asuhan Yatim Piatu” seloroh seorang gadis. Seraya menyodorkan kertas. Begitu aku buka pintu kamar kosku. Entah apa isi tulisannya mungkin surat keterangan yang menyatakan bahwa panti asuhan tersebut, nyata bukan fiktif. Ah sudahlah aku tak perduli, kenapa harus banyak berpikir sih bila mau menolong. Kukeluarkan lembaran uang pecahan sepuluh ribu sebanyak empat lembar, lalu kuserahkan padanya. Gadis itu membuatkanku sebuah kwitansi, lalu tersenyum seraya mengucapkan terimakasih. Dia juga mendoakanku, semoga sukses dan dapat jodoh katanya.
Sebenarnya uang tadi adalah jatahku minggu ini, kosong sudah dompetku, hanya tersisa uang-uang receh saja . Dihitung-hitung nominalnya enam ribu. Maka malam ini aku tidak makan, besok makan satu kali, hingga tiga hari kedepan. Cukup kok, Bisa makan mie instan atau beli lauk orek-orek dari Warung Nasi. Nasinya masak sendiri.


Mungkin aku tak eksis dimata teman-temanku. Mereka mencari Eksistensi ‘semu’ dengan Hedonisme, contohnya Facebook, fashion dan sebagainya. Aku yang kolot dan konservatif pastinya membosankan bagi mereka. Aku tak tahu gossip-gosip terbaru, atau fashion terbaru. Meski masalah ini tak hanya aku saja yang rasakan. Namun aku enggan bila harus tak eksis di hadapan Tuhan-ku. Disini beragam hal aku lakukan dengan harapan aku akan dapat eksis di mata Tuhan.

“Kaka.. jangan melamun, ayo ajari aku selanjutnya bagaimana kak?” rengek Pipit mengaburkan lamunanku. Sesaat setelah peminta sumbangan itu berlalu. Pipit adalah salah satu anak dari tetanggaku. Baru lima tahun. Dia seringkali datang kerumahku, untuk sekedar minta diajari menggambar, membuat origami atau minta dijajani. Siang tadi begitu aku datang. Pipit ternyata sudah sengaja menunggu di depan pintu.

Kepalaku terasa berat sekali, pusing sekali lebih sakit dari biasanya. Tapi kutahan-tahan saja. Aku terus mengajari Gadis kecil ini tahap-tahap membuat origami kodok. Betapa sumringahnya saat berhasil menyelesaikan origami buatannya. Pipit tersenyum lebar gigi-giginya yang putih berderet rapih. Betapa polosnya dia, gemas, ku cubit lembut pipinya.

***

Hari ini badanku tak enak, sementara aku ada janji dengan temanku anak broadcasting. Sore ini harus menyerahkan naskah scenario buatanku padanya. Motor kupacu perlahan melintas jalan raya, matahari memerah. Pening di kepalaku kembali terasa, lama-lama menjadi nyeri yang tak tertahankan. Seketika pandanganku mulai samar berkunang-kunang, kepalaku sakit sekali, tengkuk belakang kepalaku serasa di timpuk oleh beban berat. Pandangan seolah berputarputar. Semua gelap. Hanya lamat terdengar bunyi klakson menjerit.
***

Sebuah Bendera kuning terpancang di sela besi pagar, melambai tertiup angin malam, disela-selanya lamat terdengar alunan ritih pilu, tangisan yang menyayat kalbu. Sebagian orang menggunakan pakaian hitam, sebagian lagi hanya mengunakan pakaian dengan warna gelap. Sisanya khusuk membaca surah Yasin.
Ibu menangis, baru kali ini aku melihat dia meratap begitu pilu, biasanya dia bersikap seolah tidak perduli padaku, tidak pernah menanyakan keadaanku, menanyakan perihal kuliahku, apa yang kulakukan, ada dimana, apakah aku sehat-sehat saja dan sebagainya. Aku memang jarang sekali bertemu dengannya, sejak kecil aku ikut ayahku dan tinggal dengan ibu tiriku, Mama Wanda. Ayah wafat saat aku berumur 10 tahun. Aku diurus oleh ibu tiriku. Sementara dia, meski ibu kandungku, tapi tak pernah datang mencariku sama sekali. Aku tak tahu kenapa.

Ada perasaan menang muncul di hatiku, menyaksikan dirinya menagis seperti itu. Aku jadi teringat kakak iparku sempat menginterupsiku begini.
“Kenapa kau tak pernah mau menemui ibumu sendiri? Bagaimana bila ibu sudah tidak berumur lagi besok? Umur siapa yang tahu!”. Begitu yang dikatakannya. Pernyataan yang seharusnya, dan tepatnya dilontarkan untuk ibu kandungku.
bagaimana bila sebaliknya aku yang tak berumur? Umur siapa yang tahu. Dan sekali lagi aku merasa puas dan menang.

Aku terus masuk kedalam ruangan, tak ada yang memperhatikanku, barang seorang pun. Aku lihat di pojok kiri teman-temanku, Mia, Rina, Flo, Geri. Lalu di samping mereka teman-teman laki-lakiku, Anggi, Darmansyah, Ian, Bagus, Achmed dan banyak lagi ternyata sampai banyak teman-teman kampusku hingga dari fakultas lain, semua hadir. Mata mereka sembab, pipi mereka basah. Aku senang melihatnya, akhirnya aku menyaksikan ada orang yang meneteskan air matanya untukku. Kupikir mereka sudah melupakan aku dan membenciku. Aku senang sekali.


Sebuah mobil Toyota vios hitam, menepi di depan rumahku, aku melayang perlahan melongok penasaran siapa yang datang. Seorang Laki-laki paruh baya turun, bersama seorang wanita cantik berambut panjang hitam dibalik selendang hitam tipis, mereka mengenakan pakaian hitam-hitam. Ibu tiriku menyambutnya. Aku kenal Laki-laki paruh baya itu, aku ingat pernah berbicara dengannya sekali, untuk yang pertama dan terakhir yaitu di UGD rumah sakit. Namun yang wanita aku tak tahu. Wanita itu nampak memperkenalkan diri pada ibuku dan berbicara sesuatu, entah apa yang mereka bicarakan. Aku mendekat dan Melayang tepat disamping mereka.
“Saya tak tahu harus mengatakan apa lagi, beribu terimakasih tidak cukup bu” ucap wanita itu seraya terus menciumi tangan ibu tiriku. Kemudian Dokter laki-laki itu menengahi
“Anak ibu sebelum meninggal mengamanatkan pada saya untuk membantunya mendonorkan organ tubuhnya. Eliana berpesan bila dia ternyata tak bisa bertahan lagi, maka dia akan ikhlaskan tubuhnya untuk didonorkan pada siapapun yang membutuhkannya. Kebetulan kakak dari ibu Sukma ini sedang membutuhkan donor ginjal untuk adiknya.” Begitu dokter itu dengan teratur menjelaskan. Mendengar penjelasan Dokter tadi, meledaklah lagi tangisan. Kedua ibuku baik ibu tiri ataupun ibu kandungku keduanya menangis lebih keras dari sebelumnya. Semua yang mendengar kembali menagis terharu, beberapa temanku memuji-muji ku, mereka bilang mereka menyukaiku, karena aku orang yang lurus dan baik, juga tidak pelit dan jarang marah. Meski sangat pendiam, sehingga sulit untuk ditebak jalan pikirannya. Begitu kata mereka

Eliana Elfira W Binti Wiratmo Agus. Lahir 19 desember 1987. Wafat 8 November 2009. Begitu yang tertulis di Papan kayu nisanku. Ibu dan teman-temanku menabur bunga bermacam warna diatas makamku. Dan aku perhatikan jumlah orang yang melayat lebih banyak dari kemarin malam, semua teman kampusku datang, baik yang ku kenal dekat dan yang tak kukenal dekat. Semuanya datang dan berdoa diatas makamku. Aku tersenyum bahagia. Mungkin beginilah eksistensiku dimata mereka?

Matahari semakin meninggi, iring-iringan dari rombongan pengantar jenazahku melangkah pulang, meski dari kejauhan mereka masih nampak. Aku tersenyum puas melihat banyak yang menangisi kepergianku. Akhirnya aku ‘eksis’ juga. Bisikku dalam hati. Sekarang aku tinggal menunggu ‘eksistensi’ku di mata Tuhan. Apakah setelah ini aku akan tersenyum lebih lebar karena Tuhan yang memujiku? Atau sebaliknya? Aku tak tahu. Sebentar lagi malaikat Mungkar dan Nakir akan datang. hanya bisa berdoa dalam perasaan harap-harap cemas.
(end)

pertama Dipublikasikan februari 2010. ANNIDA Online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar