Minggu, 05 September 2010

Menari Bersama Gerimis

hari ini, udara dingin..
matahari blm muncul, mensiratkan hangatnya..
aq jadi inget, aq py cerita, terinspirasi oleh pagi yang berawan sendu.. cekidoot, nanti komen yah, bagus atau tidak.. :)


Menari Bersama Gerimis


Hari ini adalah awal musim penghujan, setiap harinya hujan turun dalam kurun waktu lama baik pagi, siang atau sore dan malam. Atau sekedar gerimis
“uhuk.. uhuuk!” wanita baya itu terbatuk.
“nenek jangan paksakan diri. pagi ini gerimis nek” ujar Euis. Cucu satu-satunya itu, nampak khawatir sekali dengan keadaannya.
“uhuk! Tak apa nak, nenek akan baik-baik saja”
“Euis juga bisa berjualan nek, biar Euis saja yang menjual kue, keliling-keliling, Euis bisa kok nek”
Wanita baya itu tersenyum, namun tangannya tetap sibuk menyiapkan kue-kue dan gorengan daganganya dalam nampan nyiru.
“kamu sekolah saja yang benar nak.”
“iya nek, kemarin saja ulanganku dapat Sembilan, besok-besok aku akan membuat nilainya sepuluh biar Nenek senang” celotehnya lugu
“Euis ingin jadi perawat nek, kalau bisa malah jadi dokter, biar bisa merawat nenek” tambahnya lagi.
Si Wanita tua itu terharu, kedua matanya berkaca-kaca mendengarnya. Dengan penuh kasih sayang dia mengecup kening dan pipi cucunya itu. Seraya mendekapnya. Dan berkata
“Amin cucuku, Insya Allah”
Dia seorang penjual jamu gendong sebenarnya, namun tuntutan ekonomi memaksa dia berupaya lebih dari itu, maka jadilah dia menyambi berjualan Kue-kue basah dan gorengan keliling. Seperti biasa dia mulai berjualan sejak pukul setengah enam pagi.
“jamuu… jamuu.. kue basah, gorengan anget…” begitu yang dia teriakan. Meski seringkali diselangi batuk-batuk.



Perlahan wanita baya, memasuki sebuah komplek elit, biasanya di komplek elit begitu yang membelinya hanya para mbok-mboknya saja. Tapi lumayan lah yang penting ada yang beli.
“uhuk!. Jamuuu mbak…?!, Kunyit asem?” tanyanya, saat melewati sebuah rumah, yang pekarangannya sedang disapu oleh mbaknya.
“boleh bu. Kunyit asamnya, pakai sirih sedikit yah” jawab mbak itu.
“sekalian neng, gorengannya? Atau kuenya, masih anget tho neng”
“boleh deh, bakwannya aza bu dua”


Hari makin siang namun, langit tetap muram mendung, diselangi gerimis dan hujan kecil sekali dua kali turun. Cuaca dingin seperti ini, pas untuk bermalas-malasan diatas kasur dan tidur berselimut.


10 tahun yang lalu

“apa kamu tak mau bekerja di sini saja tho? Masih banyak keluarga yang perlu tenaga pembantu di negri kita. Tak perlu harus ke luar negri” seloroh wanita baya itu. Menasehati anaknya Lasmi yang masih ranum berumur 18 tahun.
“tapi tak ada yang gajinya besar bu seperti di luar negri” jawab Lasmi.
“kata bu Bahrun, kerja disana kita dibayar satu juta perbulannya” tambah Lasmi lagi. Berusaha meyakinkan ibunya agar mau merestuinya untuk pergi bekerja menjadi TKW. Ibunya tetap berkeberatan anak semata wayangnya pergi menjadi TKW, dia masih ingat berita yang dia pernah liat di televisi yang ada dibalai desa. “para TKW banyak yang kembali ke tanah air dalam Kondisi memprihatinkan, ada yang cacatlah karena disiksa majikan atau bahkan meninggal’. Wanita baya itu masih tetap khawatir anaknya ikut jadi korban. Tapi apa mau dikata anaknya Lasmi itu bila sudah berkeinginan, keras kepala bagai batu. Dia tetap berisikeras pergi menjadi TKW.

tiga tahun berlalu. Lasmi, akhirnya pulang. Alangkah terkejutnya ibunya, taktakala melihat perubahan dalam diri Lasmi, dia kembali dengan baju serba ketat, lagi seronok. Wajah tebal oleh bedak, dan make up. Lasmi yang dulu santun berubah temperamental, uring-ringan dan seringkali menghardik ibunya, bahkan memukulnya. Terbiasa merokok dan bicaranya sering tak diatur. Sering kali pergi dan pulang malam dengan membawa laki-laki yang berbeda-beda dengan tubuh berlumur alkohol. Ibunya berulang kali Menegur dan menasihati, namun Lasmi malah berbalik memakinya.
tak kurun lama diperhatikannya tubuh anaknya itu, semakin melebar, perutnya semakin membuncit, ibunya mulai menaruh curiga. Namun dia tak berani bertanya, tiga bulan kemudian tanda-tanda kehamilan itu semakin jelas. Para tetangga mulai mengunjingkannya. Kata mereka ‘Lasmi ke luar negri jadi pelacur, pulang-pulang bunting!’. Atau ‘si Lasmi melacur di warung remang-remang’. Dan seterusnya.

Ibunya tak tahan dengan dengan itu semua dan menanyakan langsung pada anaknya itu, memaksa dia mengakui kehamilannya. Lasmi akhirnya cuma bisa menangis segukan, mendadak dia gelap mata dan mengambil sebilah pisau dapur hendak menghabisi nyawanya sendiri. Ibunya mati-matian mencegah.
“Bunuh diri itu dosa Lasmi!!”
“Aku ini manusia hina bu! Aku tak mau hidup lagi!!, selamanya aku akan jadi aib disini!” jerit Lasmi.
Akhirnya Lasmi menceritakan pada ibunya, apa yang terjadi selama dia menjadi TKW. Bu Bahrun ternyata menipunya. Dia menjual Lasmi pada sindikat penjualan perempuan. Ditempat, tak lain lokalisasi, dia dipaksa melayani para tamu laki-laki yang datang. Awalnya di Balik papan, kemudian pindah ke TembagaPura. Hingga akhirnya dia dijual pada seorang laki-laki asing, yang menjadikannya istri kontrak, namun laki-laki bejad tersebut setiap hari memukulinya, dan memaksanya untuk melacurkan diri. Sudah tak terhitung berapa lelaki yang telah tidur dengannya. Sekarang dia hamil pun tak jelas dia tahu siapa ayahnya.

Wanita baya itu menjerit pilu. Andai kata saja waktu dapat diputar, andaikan dia mengikuti firasatnya, Andai dia akan mati-matian mencegah kepergian anaknya. Namun apa daya Nasi telah menjadi bubur.




***
“Uhuk.. uhuk! Uhuoek!” Wanita baya itu merasakan kembali sakit menusuk dadanya. Diantara Gerimis wajah cucunya Euis berkelebat di pikirannya. Tadi pagi dia berkata ingin menjadi seorang Perawat. Katanya. Bayangan itu menggodanya menyunggingkan senyum. Setelah ibunya Lasmi meninggal bunuh diri setelah melahirkan Euis, nenek itulah yang merawat dan mendidiknya sejak lahir.
“Euis ingin jadi perawat nek, kalau bisa malah jadi dokter, biar bisa merawat nenek” dia kembali tersenyum dan matanya berkaca-kaca, dia ingat dua bulan lagi cucunya itu akan masuk Sekolah Menengah Pertama. Itu butuh biaya yang tidak sedikit. Dia lantas melirik Kue-kue dan gorengannya. Masih belum laku banyak. Tertumpuk dan menjadi dingin.

Dia menghela napas panjang. Lalu kembali berjalan.
“Jamuuu…. Jamunya mbak, kunyit asem”
“kuee, gorengaan anget…”
Suaranya lamat terdengar parau, bersatu dengan gemericik gerimis pagi itu, Sedih, harapan, kegelisahan dan ketabahan beresonansi dalam suaranya, bergetar, seolah bernyanyi bersama dalam Rinai gerimis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar