Kamis, 01 Oktober 2009

Menjelang LEBARAN (part2)

Menjelang LEBARAN (part2)

Aku dapat ‘amplop pertama’ dari teh tamy kakak sepupuku, hihihi isinya lumayan banyak untuk aku yang lagi ‘kangker’ stadium akhir, bagaimana tidak, uang terakhirku adalah yang kupakai sebagai ongkos naik bus pulang via lbk Bulus- bandung. Tapi seperti biasa aku bingung dengan uang itu, apa akan aku belikan baju? Ah aku tidak terlalu suka belanja, terlebih ini H minus 2, sudah pasti semua tempat belanja itu akan penuuuh sekali, aku heran dari mana ia mereka dapat uang banyak untuk bisa berbelanja gila-gilaan seperti itu? Atau beli buku aku memang membeli beberapa buku dan sebuah kamus, tapi nanti di Kwitang. Ya sudah aku simpan saja dulu sampai aku putuskan untuk apa uang itu nanti. Selanjutnya ‘amplop ke dua’, aku terima saat sedang membantu mama masak , kakak sepupuku yang lain datang memberiku THR, hihihi Alhamdullilah,
“ThanQ” ucapku sambil tersenyum nakal.


Lebaran memang terasa datar tanpa THR, apa karena kita sudah terbiasa dengan rutinitas demikian? Tiap lebaran datang maka harus ada baju baru, makanan banyak, kue-kue (ktanya buat tamu hingga kami tak boleh menyentuhnya), gorden baru, sarung bantal baru, iaa kalau pekara rumah bersih rapih, aku suka, walau kami (aku, adiku dan mama) harus kelelahan karenanya. Tak ada masalah yang begitu berarti untuk kami yang berasal dari keluarga menengah ke atas atas tradisi tersebut. Alhamdullilah rejeki kami selalu cukup, Namun bagaimana halnya dengan mereka yang keluarga pas pasan??


Pukul Empat sore, tenggorokanku terasa kering sekali, segelas air putih saja Nampak begitu sexy di mata ku, apalagi segelas es buah? Ooouwh.. Ah kupikir dari pada puasaku makruh, lebih baik diam di kamar sajalah nonton TV, ditempat itu ‘aman’ dari aroma-aroma dan pemandangan-pemandangan yang menggiurkan. Kumasuki kamar kaka sepupuku yang telah lebih dulu rampung di cat sebelum aku tiba dari jakarta, di dalam ada teh tami dan bibiku sedang berdiskusi serius, aku ambil duduk di belakang mereka lalu mulai menguping apa yang mereka sedang bicarakan.
”ini gaji harian mereka, ma2 sudah hitung dan catat mereka kerja sejak hari apa” itu ucapan pertama yang kudengar saat mulai menguping.
“lalu berapa kira—kira yang harus tami kasih Ma, apa lebih baik segini?” ucapnya. Seraya menunjukan tulisan yang tertera di buku. Aku sih tak bisa melihat berapa yang tertera di situ.
Bayaran yang dimaksud adalah bayaran untuk para ‘tukang’ yang mengecat rumah. Mereka berjumlah dua orang, mang wawan dan mang yanto. Aku terus menguping seraya memandangi ekspresi wajah dari tiap-tiap mereka.
“ya sudah kalau begitu bwat wawan 500ribu, dan yanto 400ribu, karena dia cuma berkerja 6 hari” ucap kakak sepupuku, dan bibiku mengaguk setuju.
Begitu miris dengan nominal uang yang diterima mereka, pekerjaan mereka itu kasar dan melelahkan. Aku membayangkan bagaimana jadinya apabila uang itu harus dibagi-bagi untuk beli baju baru, THR anaknya, beli kue-kue, masak-masak, ketupat, rending atau gulai , atau buat ongkos mudik, dan yang pasti hidup tak hanya pada hari lebaran saja masih ada hari selanjutnya. Dipikir-pikir lagi jumlah nominal ‘amplop’ yang kuterima jauh lebih besar dari itu. Sementara aku mendapatkannya tanpa harus menguras keringat seperti mereka. Aku sungguh beruntung, namun tak pernah mensyukuri itu semua. Terkadang kita semua lupa untuk melihat kebawah dengan rendah hati dan kesabaran, karena kita sibuk merasa congkak dan kurang atas diri kita.


Senja merah mulai berubah gelap, aku sudah siap-siap berbuka dan memilih menu apa yang akan aku santap, tapi ah! setelah dipikir-pikir minum saja cukup, lebih baik menunaikan shalat maghrib terlebih dulu, baru setelah itu makan, aku malu bila dianggap lupa berterimakasih oleh Tuhan ku.

Selera makanku hampir saja hilang saat menyimak berita kecelakaan yang kerap menimpa para pemudik, ada yang tergilas oleh roda truk, atau jatuh dari motor dengan kepala pecah. Naudzubillah. Atau tema lain yang tak kalah teruk, seperti pembagian zakat yang memakan korban, atau kasus-kasus pencurian yang kerap terjadi menjelang hari lebaran. Abu-abu rasanya, apa artinya bulan puasa dan hari kemenangan bila diwarnai dengan insiden-insiden begini? Apa harga sebuah nyawa sebanding dengan harga ritual Tradisi mudik? Apa rasa bangga memiliki baju baru, gorden dan sarung bantal baru, sebanding dengan masuk bui? Apakah niat halal bihalal, atau bersilah turahmi antar saudara itu harus dibarengi dengan perasaan Riya akan sandang yang melekat?? Bukankah di hari yang fitri ini harusnya kita hiasi dengan hati yang bersih, bebas dari pongah, deskriminasi, atau interpretasi negative atas orang lain. Rasanya banyak koq orang yang menyadari relita ini namun mereka seolah menutup mata akan fakta, dengan berasumsikan kata ‘Tradisi’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar